Sabtu, 10 September 2011

Permodalan Sapi Perah Setengah Hati



Sapi bisa jadi agunan cairnya KUPS, itu kata pejabat BI dan pemerintah. Tetapi kata bank penyalur, tidak bisa
Raut wajah dan intonasi kalimatnya menunjukkan keengganan berkomentar banyak soal dana KUPS (Kredit Usaha Pembibitan Sapi). ”Sudahlah, cukup bagi saya bicara KUPS selama 2 tahun. Saya tidak ingin dianggap berkoar-koar karena sakit hati tidak mendapat dana KUPS. Saya tidak ingin ada yang merasa tersudutkan. Yang pasti, semua keluhan sudah saya sampaikan langsung ke pejabat berwenang di Kementerian Pertanian,” ujar pemilik nama lengkap Fina Rosdiana ini lirih.
Fina adalah salah satu peternak sapi perah yang gagal mendapatkan kucuran kredit bersubsidi bunga yang dikhususkan untuk pengembangan pembibitan tersebut. Celakanya, ia telanjur menginvestasikan dana pribadi untuk membangun kandang berkapasitas 1.000 ekor di Nyalindung, Sukabumi, Jawa Barat. Fasilitas komplit pembibitan itu kini mangkrak, menjadi saksi bisu betapa sulitnya mengakses dana KUPS.
Sumber TROBOS mengatakan, Fina sejatinya pelaku peternakan sapi perah yang pertama mendapat rekomendasi dari Direktorat Jenderal Peternakan (Ditjennak). Bisa jadi karena pemilik CV Anugrah Panca Utama itu selama ini dikenal sebagai tokoh penggerakrearing (pembibitan) sapi perah di Sukabumi. Ironisnya, sampai hari ini ia tak mendapatkan dana itu.
Sumber TROBOS ini menilai, Fina terlalu yakin dengan rekomendasi Ditjennak. Itu terjadi karena pihak Ditjennak meyakinkannya bahwa ia pasti mendapatkan dana KUPS dan sapi perah dapat dijadikan agunan atau jaminan. Apa lacur, meski mengantongi rekomendasi Ditjennak, bank penyalur tetap berkata tidak. Pihak bank menyatakan, sapi perah tidak dapat diagunkan. Ketika itu bank sempat meninjau fasilitas pembibitan Fina dan menyatakan layak.
Fina sedikit angkat bicara. ”Kesalahan saya adalah melakukan investasi fasilitas pembibitan dulu, padahal dana belum turun,” katanya. Tapi Fina tidak ingin menyalahkan siapapun atas kegagalannya mengakses KUPS. Ia akui ketidakmampuannya menyediakan agunan berupa surat berharga seperti yang dituntut oleh bank penyalur adalah faktor utama kegagalannya. Pejabat berwenang pun diam, karena bank penyalurlah yang punya uang.
Bank menolak sapi perah sebagai agunan. Ini tidak sejalan dengan apa yang dikemukakan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Budi Rochadi, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR (10/2). Seperti dikutip Agribisnews.com, Budi mengatakan, kini sapi diakui sebagai agunan. ”Jadi tidak ada masalah lagi bagi peternak sapi untuk mendapatkan kredit dari bank. Ini akan memudahkan para peternak sapi untuk mengembangkan bisnisnya jadi lebih besar,” sumbarnya ketika itu.
Manajer Kelompok Bisnis Program Divisi Usaha Kecil Bank BNI, Soesetyo Priharjanto saat dimintai komentar mengatakan, ”Bisa saja sapi diagunkan, tapi bank tetap membutuhkan agunan tambahan sebagai backup.” Ia berargumen, penggunaan sapi sebagai agunan sangat berisiko. Apalagi hingga saat ini belum ada asuransi khusus untuk ternak. Bila pun ada, pasti akan mahal sekali dan akan memberatkan si peternak dalam pembayaran.

Pedoman yang Tidak Aplikatif
Sumber TROBOS mengatakan, Fina tak sendiri. Banyak pelaku lain yang gagal karena terganjal agunan. Kegagalan ini menjadi bukti, Pedoman Umum (Pedum) KUPS sangat tidak aplikatif sehingga sulit diakses.
Pertama yang membuat KUPS tidak aplikatif adalah nilai kreditnya. Nilai kredit Rp 66 miliar diperuntukkan bagi pembelian 5.000 ekor sapi perah impor. Sama dengan Rp 13 juta-an per ekor. ”Padahal harga sapi perah dara bunting impor saat ini ada di kisaran Rp 22 – 26 juta per ekor. Jadi, nilai kredit dan peruntukkannya sangat tidak masuk akal,” tutur sumber tadi. Kemudian, soal agunan. Pemerintah menyatakan sapi dapat diagunkan dengan syaratsapi akan dipasang microchip sehingga aman, tapi bank berkata lain. Bank tak mau ambil risiko dan tak mau rugi.
Teguh Boediyana, Ketua Dewan Persusuan Nasional mengaku mendengar kabar Pedum KUPS direvisi. Yang tadinya harus sapi impor, sekarang boleh menggunakan sapi lokal atau keturunan impor. Tetapi, dengan penggunaan sapi lokal berarti tidak terlalu signifikan meningkatkan populasi. ”Penggunaan sapi lokal hanya memindahkan status atau posisi sapi dari satu daerah ke daerah lainnya,” kritiknya.
Sumber TROBOS membenarkan adanya revisi Pedum KUPS. Tapi tentang agunan, katanya, tak bisa ditawar-tawar. Sesuai ketentuan bank penyalur, agunan adalah harga mati. ”Intinya, ada revisi pun pedum KUPS tetap tidak aplikatif. KUPS tetap seperti kredit konvensional lain, hanya subsidi bunga saja yang membedakannya,” tandasnya. Kredit turun atau tidak, sepenuhnya ditentukan masing-masing bank.
Teguh sudah memprediksi sejak diluncurkannya KUPS agunan akan jadi sandungan. Pasalnya, KUPS didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan nomor 131/2009 dengan menimbang Undang-Undang nomor 7/1992. Penjelasannya, dana KUPS adalah uang bank penyalur. Dan bank penyalur akan mengikuti ketentuan internal bank, yang mempertimbangkan keamanan uang nasabah dan kesehatan bank yang bersangkutan. ”Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian sangat diutamakan,” kata dia.
Teguh mengkritik lagi, KUPS adalah kebijakan setengah hati dari pemerintah, subsidi bunga hanya pelengkap. ”Lihat saja realisasinya. Dari total plafon yang Rp 3,88 triliun, laporan terakhir Bank Indonesia menyebutkan Rp 128 miliar saja yang terserap. Artinya, hanya terealisasi 3 %. Ini sebenarnya tamparan buat pemerintah, kalau mereka menyadarinya. Dan realisasi pada sapi perah pasti lebih kecil, karena KUPS bukan untuk mengembangkan sapi perah. Tapi sapi potong, untuk mengejar swasembada daging 2014,” komentar Teguh berapi-api.
Selengkapnya baca majalah Trobos edisi Juli 2011


http://www.trobos.com/show_article.php?rid=4&aid=3009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN KOMENTAR

Pembukaan Padang Penggembalaan(Lelang Ulang)

Informasi Lelang Kode Lelang 2903212 Nama Lelang Pembukaan Padang Penggembalaan (Lelang Ulang) Alasan Pembatalan tidak...