Selasa, 20 Desember 2011

Kementan Perketat Persyaratan Teknis Pemasukan Produk Pertanian

Jakarta – Untuk meminimalisir resiko masuk dan tersebarnya Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) eksotik yang kian meningkat seiring dengan banyaknya pemasukan berbagai media pembawa, baik yang berupa produk maupun benih tanaman khususnya hortikultura, Kementerian Pertanian mengeluarkan beberapa Peraturan Menteri, antara lain (1) Peraturan Menteri No 88/Permentan/PP.340/12/2011 tentang Pengawasan Keamanan Pangan terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Segar Asal Tumbuhan, (2) Peraturan Menteri No 89/ Permentan/OT.140/12/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian No 37/Kpts/Hk. 060/1/2006 tentang Persyaratan Teknis dan Tindakan  Karantina Tumbuhan Untuk Pemasukan Buah – Buahan dan/ atau Sayuran Segar ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, dan  (3) Peraturan Menteri Pertanian No 90/ Permentan/OT.140/12/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pertanian No. 18/ Permentan/OT.140.2/2008 tentang Persyaratan Tindakan Karantina Tumbuhan Untuk Pemasukan hasil Tumbuhan Hidup Berupa Sayuran Umbi Lapis Segar Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
 
“Peraturan – peraturan tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memperketat persyaratan teknis pemasukan produk Pangan Segar Asal Tumbuhan (PSAT) dan pengetatan tempat pemasukan,” demikian dikatakan Menteri Pertanian, Dr. Ir. Suswono, MMA saat mengadakan jumpa pers yang didampingi Kepala Badan Karantina, Ir. Banun Harpini. Rabu (14/12)
 
Menurut Mentan, Peraturan Menteri Pertanian yang baru tersebut akan berlaku secara efektif mulai 3 bulan ke depan setelah tercatat dalam Lembaran Negara. Dengan demikian, maka tempat pemasukan buah – buahan dan sayuran segar serta umbi lapis yang hidup hanya dapat dilakukan melalui Pelabuhan Belawan (Sumut), Bandara Soekarno Hatta (Tangerang), Pelabuhan Makasar dan Pelabuhan Tanjung Perak.
 
Lebih lanjut dijelaskan Mentan, dalam kurun waktu 2 tahun terakhir, telah terdeteksi adanya OPTK baru di sentra tanaman pangan dan hortikultura, antara lain Panthoea stewartii, Aphelenchoides fragariae, Psedomonas capsici serta OPTK baru yang belum terdaftar di Peraturan Menteri Pertanian No 38 tahun 2006 yang meliputi penyakit virus disebabkan oleh Tomato infectius Chlorosis Crinivirus (TICCV)
 
“OPTK tersebut memiliki daya rusak yang tinggi terhadap komoditas strategis pertanian kita. Karena itu Kementan melakukan review terhadap beberapa tempat pemasukan produk pertanian, yang salah satunya ditengarai karena tingginya arus lalu lintas dan kurangnya SDM sehingga diharapkan dengan terbitnya beberapa peraturan Menteri Pertanian yang baru maka pelaksanaan pengawasan dan tindakan karantina menjadi lebih optimal,” kata Mentan.
 
Sumber: Biro Umum dan Humas
http://www.deptan.go.id

Motto BPTU Sembawa:"Bibit Unggul Peternak Makmur"

Ayam Kampung Tuan Rumah di Negeri Sendiri

ayam kampung
Di negeri ini ayam kampung lebih banyak dikaitkan dengan kaum proletar atau program pengentasan kemiskinan atau ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, akan tetapi sangat sedikit dibicarakan dari sisi komersialisasinya atau bisnis. Istilah ayam keluarga (family poultry) atau ayam belakang rumah (backyard poultry) atau ayam pedesaan (village/rural poultry) menjadi melekat pada ayam kampung dan diterima sebagai suatu yang sudah umum di kalangan masyarakat luas.
Pasti berbeda ceritanyanya kalau kita berdiskusi dengan Haji Ade Zulkarnaen. Haji Ade adalah mantan wartawan yang beralih profesi menjadi peternak ayam kampung di rumahnya di Cicurug, Sukabumi Jawa Barat. Beliau tak kenal lelah jika membicarakan tentang prospek bisnis ayam kampung. Meski ayam kampung lebih dicitrakan/diartikan “lokal”, “serabutan” atau “usaha kecil”, akan tetapi Haji Ade beranggapan bahwa peternak ayam kampung adalah tuan di negeri sendiri.
Dengan begitu sudah barang tentu Haji Ade punya alasan untuk mengatakan demikian. Peternak ayam kampung mampu menentukan segala sesuatunya sendiri, mulai dari pakan, kandang, obat-obatan dan bahkan harga jual ayam kampungnya. Permasalahan yang kerap muncul di ayam kampung lebih seputar bagaimana mempertahankan ketersediaan bibit ayam usia sehari dengan kuantitas dan kualitas yang baik, sehingga kestabilan pasokan ayam kampung dapat terjaga dengan baik. Hal yang menyebabkan terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dengan permintaan akan daging dan telur yang cenderung meningkat secara eksponensial dikarenakan sifat genetik ayam kampung.
Sepanjang sejarah perunggasan yang terjadi di negeri ini, belum pernah terdengar permintaan akan daging atau telur ayam kampung menurun. Cenderung selalu terjadi ketimpangan yang sangat besar antara kemampuan pasokan dengan tingkat permintaan dari pasar. Untuk kebutuhan kota Jakarta dan sekitarnya saja, baru bisa terpenuhi 12 ribu atau 9 persen dari total permintaan sebesar 150 ribu ekor per bulan (Kontan On-line, 2008).
Meski ayam kampung diberi nama ”ayam buras” (bukan ras) oleh pemerintah, namun atribut ”kampung” atau ”tabungan hidup orang desa” tetap saja melekat didalamnya. Jika dilihat dari segi preferensi konsumen, daging ayam kampung jauh lebih gurih dan lezat daripada ayam ras dan telurnya mempunyai ciri khas tersendiri. Tekstur otot yang khas yang tebal, rendah kandungan lemak dan kolesterol menjadikan daging ayam kampung jauh lebih unggul dari ayam ras. Hal ini menyebabkan harga daging maupun telur ayam kampung pasti lebih mahal dari ayam ras.
Ayam kampung sebagian besar dihasilkan di desa, tetapi penikmat kuliner daging ayam kampung sesungguhnya lebih banyak di kota-kota besar. Lihat saja kalangan yang makan di restoran ”Ny Suharti” atau restoran lainnya yang menunya mengandalkan ayam kampung justru adalah kelas menengah ke atas yang mencirikan kemapanan dan status sosial yang lebih tinggi. Cuku terlihat kontras dengan peternak ayam kampung yang kebanyakan kelas sosial bawah atau kelas pekerja.
secara umum pemeliharaan ayam kampung dilepas liarkan tanpa diberi pakan khusus di lahan yang sempit dengan sumberdaya yang terbatas, pertumbuhan lambat, produksi telur rendah, daur reproduksi relatif lebih panjang serta memiliki sifat mengeram, menetaskan dan memelihara anak yang memerlukan jangka waktu hingga 21 hari. Banyak pendapat mengatakan bahwa secara umum lebih tahan penyakit daripada ayam ras, tetapi dalam hal kejadian penyakit Newcastle Disease (ND) atau tetelo kematian pada umur kurang dari 6 minggu seringkali mencapai 50-56 persen.
Gejolak perunggasan
Banyak pengamat menyatakan bahwa setiap kali terjadi gejolak di dunia perunggasan nasional, ayam kampung jarang terpengaruh. Ayam kampung tetap mampu bertahan sebagai wujudnya sekarang, di tengah berbagai gejolak situasi perunggasan yang pernah terjadi mulai dari fluktuasi harga ayam, bibit ayam, pakan dan obat-obatan.
Meskipun kuatnya pukulan terhadap industri ayam ras, ayam kampung tetap tidak dilirik para pelaku usaha meskipun permintaan dan harga ayam kampung cenderung stabil. Harganya juga pasti naik menjelang hari-hari besar. Hal itulah yang menyebabkan populasi ayam kampung di Indonesia relatif cukup stabil dibandingkan dengan ayam ras. Estimasi populasi ayam kampung di Indonesia cukup sulit. Data menyebutkan ada sekitar 260-300 juta ekor ayam kampung tersebar dari perkotaan sampai pelosok negeri ini.
Industri perunggasan kita mempunyai banyak faktor sensitif, terutama karena ketergantungannya pada bahan pakan impor. Gejolak harga pakan paling sering terjadi dan dampak terberat dirasakan ayam ras. Untuk tidak terpengaruh dengan pakan pabrikan, maka penggunaan pakan lokal menjadikan salah satu cara yang mampu mengoptimalkan potensi ayam kampung.
Gejolak lain yang pernah melanda industri perunggasan kita adalah wabah flu burung 2003-2004 lalu. Akan tetapi demikian sulit diprediksi seberapa besar ayam kampung terpengaruh setelah timbulnya wabah tersebut. Hasil penelitian terbaru menyatakan secara nasional ayam kampung tidak terpengaruh oleh wabah flu burung, mengingat harga jual tetap tinggi, investasinya kecil dan kontribusinya tidak signifikan terhadap pendapatan rumah tangga (Rushton, 2008).
Potensi ekonomi
Sebagian besar ayam kampung hanya dijadikan sebagai sumber uang tunai bagi rumah tangga miskin di pedesaan, belum dijadikan sebagai komoditi yang memberikan peluang bisnis menjanjikan. Nampaknya masih dianggap terlalu banyak kendala untuk meningkatkan budidaya ayam kampung dari tradisional ke agribisnis intensif, karena sistemnya yang ‘low input-low output’. Oleh karena itu ada hal-hal yang harus dirubah apabila ingin memberlakukan ayam kampung sebagai komoditi ekonomi sama seperti halnya ayam ras.
Hal utama yang perlu dirubah adalah motivasi utama dan paradigm dalam memelihara ayam kampung, bukan hanya dipandang sebagai tabungan tidak terurus dengan tidak memperhitungkan nilai jual ternak. Investasi ternak dan kandang dianggap sebagai modal tetap serta pakan dan tenaga kerja sebagai modal tidak tetap/biaya operasional.
Kedua, ayam kampung harus dibudidayakan secara intensif dengan mengubah sistem pemeliharaan dari ala kadarnya menjadi ‘modern’. Pemeliharaan skala kecil dengan 10 ekor ayam betina dan 1 ekor ayam jantan sebagai populasi dasar dalam program pengentasan kemiskinan yang biasa dicanangkan pemerintah sulit untuk menjadi usaha yang ekonomis dan tidak akan menjadi sumber pendapatan yang rutin bagi masyarakat. Ayam kampung cukup sulit digunakan sebagai alat memutarbalikan proses kemiskinan yang cenderung bergerak seperti spiral.
Ada sebuah cerita dari Haji Ade bahwa, satu ekor ayam kampung membutuhkan biaya Rp 16.500 sampai Rp 18.500 untuk periode pemeliharaan selama 70 hari. Jika di kandang bisa dijual dengan harga Rp 26 ribu kepada Bandar/pengepul, akan didapatkan untung antara 34–40 persen per ekornya. Menurut beliau, profit margin beternak seribu ekor ayam kampung setara dengan beternak 30 ribu ekor ayam ras (Kontan On-line, 2008).
Yang ketiga, manajemen pemeliharaan ayam kampung perlu diperbaiki agar dapat mensuplai bibit secara lebih kontinyu dan berkualitas. Peternak perlu menggalakkan program pembibitan ayam kampung dan pemuliabiakan yang bekerjasama dengan lembaga pemerintah dan swasta. Peranan seleksi sangat dibutuhkan untuk mendapatkan bibit dengan genetik sesuai dengan yang diharapkan.
Keempat, menghitung dan mencampur ransum pakan local secara mandiri untuk meningkatkan efisiensi konsumsi dan rasio konversi pakan sehingga biaya yang diperlukan untuk kebutuhan pakan menjadi lebih kecil. Nilai nutrisi pakan perlu diperbaiki seihinga dapat meningkatkan produktivitas ayam kampung dengan suplementasi obat-obatan,probiotik,jamu herbal serta vaksin teratur.
Pemeliharaan Ayam kampung yang dikandangkan dengan pakan dan vaksinasi teratur serta menejemen yang baik akan bisa dipanen dalam waktu 70 hari dengan bobot berkisar antara 8ons-1 kg. Ayam kampung tanpa pakan teratur baru bisa memiliki bobot 1 kg setelah berumur lebih dari empat bulan.
Kelima, jika taraf hidup peternak ayam kampung diinginkan agar bisanaik kelas, maka yang sangat krusial yaitu faktor modal. Menurut Keputusan Presiden Nomor 99 tahun 1998, bahwa ayam kampung dicadangkan sebagai usaha peternakan rakyat, bukan untuk perusahaan besar. Sudah seharusnya perbankan harus diyakinkan bahwa dengan potensi ekonomi ayam kampung, peluang kredit UKM atau kredit mikro sangat layak untuk dipertimbangkan.(diolah dari berbagai sumber,terimakasih kpd drh.trisatya naipospos utk inspirasinya)
http://www.ayamkampungku.com

Motto BPTU Sembawa:"Bibit Unggul Peternak Makmur"

Gebyar Pedet Hasil Inseminasi Buatan di Madura

Melalui Inseminasi Buatan (IB), pemerintah menargetkan pada 2014 Indonesia mampu menyediakan kebutuhan daging sapi untuk masyarakat kita paling tidak 90 persen dari ternak lokal.
Bertepatan dengan acara Gebyar Pedet Hasil Inseminasi Buatan di Madura, Kasubdit Ternak Potong Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia, Ir. Wignyo Sadwoko, MM, menyampaikan tujuan dilakukannya IB adalah untuk membantu mensukseskan program pemerintah, yaitu tercapainya swasembada daging tahun 2014.
Inseminasi buatan merupakan cara pembibitan dengan cara memasukkan sperma/semen sapi jantan yang telah dibekukan ke dalam alat kelamin hewan betina dengan menggunakan alat inseminasi.
"Program IB ini bertujuan dalam rangka mempercepat pertambahan populasi melalui jumlah kelahiran, sekaligus juga melakukan perbaikan kualitas produktivitas dari sapi-sapi lokal kita. Karena dengan melalui teknologi IB ini, kita akan mampu meningkatkan kualitas ternak-ternak kita yang saat ini lebih banyak terjadi penurunan kualitas karena terjadinya kawin sedarah," ungkap Wignyo.
Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, Ir. Suparwoko Adisoemarto, MM menuturkan bahwa untuk mewujudkan IB, gubernur Jawa Timur telah melakukan berbagai cara untuk mensosialisasikannya. Mulai dari mengadakan rapat-rapat di kalangan dinas, mengundang dewan pers, hingga mengadakan ternak kontes regional seperti Gebyar Pedet Hasil Inseminasi Buatan ini.
Hal ini ditegaskan oleh Kepala Unit Kerja Pelaksana Teknis Inseminasi Buatan Jawa Timur, Ir.  M. Tjahjono, bahwa Gebyar Pedet Hasil Inseminasi Buatan di Madura ini diikuti oleh 100 ekor sapi, baik IB murni sapi madura maupun persilangan. sumber http://www.sinartani.com

Motto BPTU Sembawa:"Bibit Unggul Peternak Makmur"

Jawa Timur Mampu Tangani Kebutuhan Sapi Nasional

Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, Ir. Suparwoko Adisoemarto, MM berharap kekurangan sapi pada provinsi lain di Indonesia jangan ditutupi dengan cara impor, namun tetap diambil dari dalam negeri sendiri, bila perlu dari Jawa Timur.
“Jawa Timur merupakan lumbung sapi,” kata Suparwoko. Harga sapi impor yang mahal dibandingkan dengan sapi lokal dan kualitas sapi lokal yang tidak kalah bersaing membuatnya optimis bahwa sapi lokal mampu bersaing dengan sapi impor. “Saya yakin 90 persen lebih, sapi lokal mampu bersaing,”  tukasnya.
Kasubdit Ternak Potong Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia, Ir. Wignyo Sadwoko MM, juga mengatakan Jawa Timur merupakan lumbung sapi nasional. “Jawa Timur merupakan salah satu penopang utama di dalam pengembangan program swasembada daging sapi, karena Jawa Timur adalah merupakan lumbung sapi-sapi kita. Dari hasil pelaksanaan sensus bulan Juni yang lalu, secara nasional kita sudah mempunyai sapi 14,8 juta. Dan 4,8 jutanya itu ada di Jawa Timur. Tentunya ini sumbangan yang sangat berarti untuk program swasembada daging kita. Dan Madura, dari 4,8 juta sapi di Jawa Timur itu, Madura menyumbang kurang lebih hampir 25 persen atau 800 ribu lebih populasi sapi di Pulau Madura,” paparnya.

Motto BPTU Sembawa:"Bibit Unggul Peternak Makmur"

Senin, 19 Desember 2011

Kunjungan DIRJEN Baru ke BPTU Sembawa


Baru-baru ini kementerian pertanian melakukan pergantian DIRJEN, salah atunya adalah Direktur jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang sebelumnya di jabat oleh Bapak Prabowo di gantikan oleh Bapak Syukur Irwantoro. walaupun baru saja dilakukan pergantian namun agenda kunjungan DIRJEN Peternakan dan Kesehatan Hewan ke BPTU Sembawa tetap terlaksana sesuai rencana. Sabtu, 17 Desember acara kunjungan tersebut berlangsung, diawali dengan Makan telur bersama dengan siswa SD Sekitar BPTU Sembawa, acara dilanjutkan dengan pertemuan bersama karyawan, pemerintah kecamatan dan kabupaten serta dinas peternakan untuk berdiskusi bagaimana memajukan dan mensukseskan program program pemerintah khususnya bidang peternakan. acara diakhiri dengan kunjungan ke peternakan ayam dan sapi sekaligus peresmian Pembangunan jalan, PAM dan Rehab kandang. (mjt)
Motto BPTU Sembawa:"Bibit Unggul Peternak Makmur"

Kamis, 08 Desember 2011

Bungkil Inti Sawit dalam Ransum Unggas

www.poultryindonesia.com. Ransum unggas (ayam petelur dan broiler) komersil di Indonesia saat ini menggunakan bungkil kacang kedelai (BKK) sebagai sumber utama protein, meskipun kita tidak menghasilkan bungkil kedelai.

Itulah sebabnya jumlah impor bungkil kedelai kita terus meningkat yang menurut Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, pada tahun 2010 sudah mencapai 2,8 juta ton. Oleh karena itu, sangat menarik bila ada bahan pakan yang dapat menggantikan BKK, terutama bila bahan dan teknologi penggunaannya dapat diperoleh di dalam negeri. Sudah banyak penelitian yang dilaporkan di dalam negeri maupun di luar negeri yang bertujuan untuk mencari pengganti BKK sebagai sumber protein dalam ransum unggas. Salah satu di antaranya adalah mengganti BKK dengan bungkil inti sawit (BIS). Penelitian tentang ini juga sudah banyak dilaporkan, namun hanya 2 (dua) artikel yang menarik yang disajikan dalam tulisan ini.
Produksi dan kandungan gizi bungkil inti sawit
Bungkil inti sawit merupakan produk ikutan yang dihasilkan dari proses pemerasan inti biji sawit untuk menghasilkan minyak inti sawit. Sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia, pasti kita menghasilkan bahan ini. Menurut data dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (Purba dan Panjaitan, 2011), pada tahun 2010 Indonesia menghasilkan bungkil inti sawit sebanyak 2,881 juta ton dan pada tahun 2011 diperkirakan meningkat menjadi 3,108 juta ton.  Suatu potensi yang cukup besar. Namun, bisakah digunakan di dalam ransum unggas, apalagi sebagai sumber protein menggantikan bungkil kedelai?
Setiap orang yang mau menggunakan suatu bahan pakan dalam ransum pasti lebih dulu mengetahui nilai nutrisi dari bahan tersebut. Jika nilai nutrisi BKK dan BIS diperbandingkan seperti dalam Tabel 1, maka akan terlihat bahwa nilai nutrisi bungkil inti sawit jauh di bawah bungkil kedelai dan tidak mungkin BIS untuk menggantikan BKK, jika teknik penggantian dilakukan secara barter (atau 1:1). Berdasarkan informasi dari beberapa pabrik pakan di Indonesia, penggunaan BIS dalam ransum hanya sekitar 2,5% hingga 5%, karena adanya faktor pembatas seperti tingginya kadar serat kasar, adanya cemaran cangkang yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak, kecernaan gizi yang rendah dan harga yang relatif tinggi dibandingkan dengan BKK.
Akan tetapi, teknologi untuk mengurangi kadar cangkang, memperkaya kandungan gizi dan meningkatkan kecernaan gizi BIS sudah dihasilkan beberapa peneliti. Teknologi ini sudah dipaparkan dalam tulisan Sinurat (2010).  Salah satu contoh untuk meningkatkan kandungan gizi BIS adalah dengan teknologi sederhana membiakkan mikroorganisme dengan menggunakan media BIS atau dengan proses fermentasi. Contohnya, proses fermentasi yang dilakukan di Balai Penelitian Ternak dapat meningkatkan protein kasar BIS dari 14,2% menjadi 22,95%, meningkatkan kandungan asam amino dan nilai energi metabolis seperti terlihat pada Tabel 1 (Sinurat, 2010). Teknologi seperti ini diharapkan membuka peluang untuk menggantikan BKK dengan BIS.
Tabel 1. Perbandingan Kandungan Gizi Bungkil Kedelai dan Bungkil Inti Sawit.
Zat Gizi
Bungkil kedelai
Bungkil inti sawit (BIS)
BIS * difermentasi
Bahan kering, %
89
90
89,48
Serat kasar
6
21.7
18,6
Energi Metabolis (kkal/kg)
2510
2087
2413
Protein, %
44,0
14,2
22,95
Asam Amino, %



Methionin
0,59
0.41
0,51
Lisin
2,6
0.49
0,59
*Sinurat (2010)
Penggantian BKK Dengan BIS dalam ransum ayam petelur
Salah satu artikel menarik dilaporkan oleh Dairo dan Fasuyi di Journal of Central European Agriculture Vol 9 (2008) No 1 yang mencoba menggantikan BKK dengan BIS yang sudah difermentasi. Dalam hal ini, BIS difermentasi dengan menggunakan teknik silase (tanpa menambahkan mikroorganisme tertentu selama proses fermentasi). Teknik ini dilaporkan meningkatkan protein kasar BIS dari 20,0% menjadi 23,4% dan menurunkan serat kasar dari 15,5% menjadi 12,4%.
Dalam penelitian tersebut, BKK diganti dengan BIS tersebut secara bertingkat (0, 25, 50 dan 75%). Dari hasil yang disajikan dalam Tabel 2 terlihat bahwa semakin tinggi porsi penggantian BKK dengan BIS menyebabkan peningkatan konsumsi pakan dan penurunan sedikit produksi telur. Penggantian BKK dengan BIS sebanyak 75% sudah menyebabkan penurunan produksi telur dan efisiensi (FCR) yang lebih boros. Namun, jika dilihat pada penggantian 50% BKK dengan BIS, produksi telur maupun efisiensi penggunaan pakan (FCR) yang dicapai,  masih dapat ditolerir atau tidak berbeda nyata dengan kontrol (tanpa penggantian BKK dengan BIS). Peneliti tersebut menyimpulkan bahwa BKK dapat diganti hingga 50% dengan BIS yang sudah difermentasi untuk ransum ayam petelur.
Selengkapnya simak Majalah Poultry Indonesia Edisi Cetak Oktober 2011

Motto BPTU Sembawa:"Bibit Unggul Peternak Makmur"

Gebyar Pedet Hasil Inseminasi Buatan

PAMEKASAN – MADURA : Rangkaian ketiga acara panen pedet kali ini bertempat di Lapangan BAKORWIL 4, Pamekasan, Madura. Acara bertajuk “Gebyar Pedet Hasil Inseminasi Buatan” dilaksanakan pada tanggal 3 Desember 2011 dan diikuti oleh 100 ekor pedet hasil penyerentakan birahi yang dilakukan di tahun 2010. Dengan motto mendukung terwujudnya sapi beranak lima juta dalam lima tahun (SAPI BERLIAN) tahun 2011 diharapkan program ini turut mendukung program nasional Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDS/K) tahun 2014.

Kepala Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur, Ir. Suparwoko Adi Sumarto, MM., memaparkan bahwa sapi Madura merupakan plasma nutfah asli Indonesia dan memiliki sejumlah kelebihan diantaranya kualitas daging yang baik dan rendah kolesterol, tahan terhadap cuaca ekstrim dan memiliki toleransi tinggi terhadap kualitas pakan yang kurang baik. Suparwoko menjelaskan bahwa Madura merupakan salah satu lumbung sapi di Indonesia, data menurut hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau (PSPK 2011) yang telah dirilis akhir November 2011, menyebutkan bahwa Madura mempunyai populasi sapi sebesar 808.608 ekor yang tersebar di Kabupaten Sumenep (360.312), Sampang (196.414), Bangkalan (194.838) dan Pamekasan (127.044). 

Acara Panen Pedet merupakan bentuk apresiasi Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah dan seluruh komponen pendukungnya termasuk petugas lapangan dan peternak dalam ikut memajukan peternakan sapi lokal. Mewakili Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kasubdit Ternak Potong Direktorat Budidaya, Ir. Wignyo Sadwoko, MM. menyebutkan bahwa pedet-pedet tersebut merupakan hasil penyerentakan birahi yang bertujuan memenuhi permintaan pasar terhadap keseragaman sapi baik dari segi umur maupun bobot. Gerakan penyerentakan birahi dan inseminasi buatan masal juga bertujuan untuk meningkatkan tingkat kelahiran dan kualitas anakan dengan mencegah terjadi inbreeding. Diharapkan kegiatan Panen Pedet dapat lebih memotivasi daerah untuk meningkatkan populasi ternak, khususnya sapi lokal untuk mendukung program nasional PSDS/K 2014. “Target Pemerintah di tahun 2012, impor sapi tidak akan lebih dari 10%”, ujarnya. 

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, terus berupaya dalam pencapaian program PSDS/K 2014 melalui berbagai program seperti optimalisasi inseminasi buatan dan kawin alam, pengembangan RPH dan pengendalian pemotongan betina produktif, perbaikan mutu dan penyediaan bibit, penanganan gangguan reproduksi dan kesehatan hewan serta pengembangan SDM dan Kelembagaan. Pengembangan sumberdaya lokal diharapkan dapat menekan angka impor sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan peternak Indonesia. 

Motto BPTU Sembawa:"Bibit Unggul Peternak Makmur"

Berita Acara Serah Terima Jabatan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan


Dirjen Peternakan dan Keswan yang Baru Bapak Syukur Iwantoro yang sebelumnya menjabat Staff Ahli Menteri bidang Investasi menggantikan bapak Prabowo Respatiyo Caturosso yang saat ini menduduki jabatan barunya sebagai staff ahli menteri bidang Investasi. Serah terima jabatan dilakukan pada tanggal 5 Desember 2011 pukul 09.30 WIB di auditorium gedung D Kementerian Pertanian Jakarta. Acara di awali dengan pembacaan Fakta Integritas, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan sumpah serah terima jabatan, penanda tanganan Fakta Integritas dan Serah terima Jabatan yang disaksikan oleh Bapak Menteri Pertanian RI. Dalam kegiatan dihadiri oleh para jajaran eselon 1 Kementerian Pertanian dan eselon 2 dan 3 Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Point-point sambutan Menteri Pertanian dalam kegiatan serah terima jabatan
-Perkuat sistem Kesehatan Hewan nasional kaitan dengan penyebaran – penyebaran penyakit, seperti :
 1. Rabies di Bali
2. Antrax di Jateng
3. Flu Burung
-Pengembangan protein hewani lainnya yang berasal dari kambing, domba dan unggas
-Segera lakukan konsolidasi Internal di Direktorat Jenderal Peternakan
-Akan dilakukan evaluasi menyeluruh oleh Bapak Menteri dan Wakil Menteri terhadap kinerja eselon 1 di lingkup kementerian Pertanian

Point-Point Wawancara Bapak Menteri pertanian dengan Media
-Pengembangan program-program di subsektor Peternakan tidak cukup hanya mengandalkan APBN saja, tetapi perlu peningkatan Investasi sebagai suatu hal yang penting bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan di bidang Peternakan
-Harus ada review protap yang ada terkait hasil rilis PSPK 2011
-Dengan pergantian Dirjen yang baru harus ada trobosan trobosan baru, dengan latar belakang Bapak Syukur Iwantoro sebelumnya di Staff Ahli Menteri bidang Investasi, saat ini beliau menjadi Dirjenak keswan dan sebagai pengambil kebijakan di subsektor peternakan permasalahan-permasalahan terkait Investasi yang terkendala regulasi selama ini dapat terselesaikan. Seperti problema di daerah terkait perizinan maupun lahan untuk peternakan

Point-point wawancara Bapak Dirjenak Keswan Baru Bapak Syukur Iwantoro
-Mendorong percepatan sub sektor peternakan agar lebih menggairahkan bagi para investor
-Harus banyak regulasi yang lebih kondusif untuk menggairahkan para investor
-Peningkatan populasi luar jawa, perlu adanya kerjasama dengan kementerian terkait seperti Perhubungan, Pekerjaan Umum dan kementerian terkait lainnya sesuai dengan koridor MP3EI
-Peningkatan anggaran untuk menumbuhkan wilayah-wilayah peternakan yang baru salah satunya wilayah Indonesia Timur

Motto BPTU Sembawa:"Bibit Unggul Peternak Makmur"

Pembukaan Padang Penggembalaan(Lelang Ulang)

Informasi Lelang Kode Lelang 2903212 Nama Lelang Pembukaan Padang Penggembalaan (Lelang Ulang) Alasan Pembatalan tidak...