Rabu, 14 September 2011

Bisakah Indonesia Menjadi Negeri Produsen



Opini

www.poultryindonesia.com. Tidak secara kebetulan kalau dua tahun terakhir ini saya mengunjungi pameran peternakan Indo Livestock 2010 di Jakarta dan 2011 di Surabaya. Ada hal yang menarik perhatian saya dalam pameran tersebut, yaitu cukup banyak perusahaan dari negara China yang membuka etalase produk mereka dalam pameran tersebut. Kebanyakan perusahaan tersebut belum menjual produk mereka di Indonesia atau mereka masih pada tahap ‘berburu’ distributor.



Produk yang dipamerkan terutama adalah bahan pakan, suplemen pakan, imbuhan pakan dan obat hewan. Beberapa perusahaan yang berbeda ada yang menjual produk yang serupa seperti enzim dan mineral sumber fosfor. Tidak ada yang salah akan kehadiran mereka. Kehadiran mereka merupakan pewujudan dari perjanjian perdagangan bebas ACFTA yang sudah disepakati bersama.

Yang menarik adalah begitu tinggi semangat mereka seolah - olah mau menunjukkan kepada negeri ini bahwa mereka dapat memproduksi kebutuhan sarana peternakan yang kita butuhkan. Meskipun mereka mempunyai penduduk terbanyak di dunia ini yang jumlahnya sekitar 5 kali jumlah penduduk Indonesia, mereka bisa menjadi negeri produsen. Saya tidak tahu persis apakah kejadian sebaliknya juga terjadi, yaitu apakah pengusaha Indonesia ikut dalam pameran peternakan di negara China dan melihat ada peluang di sana.

Ada beberapa kemungkinan mengapa pengusaha negara lain tertarik pameran di Indonesia. Pertama, Indonesia merupakan pasar yang besar dilihat dari jumlah penduduk dan potensi industri peternakannya. Kedua, Indonesia tidak atau belum mempunyai produk dan teknologi untuk menghasilkan produk yang mereka hasilkan yang sangat dibutuhkan untuk industri peternakan. Ketiga, masyarakat Indonesia lebih menyukai barang impor daripada produksi dalam negeri. Keempat, mungkin merupakan gabungan dari ketiga hal yang di atas. Yang pasti, apapun alasannya, pengusaha sudah melihat akan memperoleh keuntungan kalau dapat menjual produknya di negeri kita.

Hampir semua produk dari China (bukan hanya produk yang berhubungan dengan peternakan) terkenal dengan harga yang murah bila dibandingkan dengan produk serupa yang dihasilkan oleh negara Amerika, Eropa maupun Indonesia. Saya sendiri tidak terlalu paham mengapa hal ini bisa terjadi. Ini menyebabkan produk dari negeri itu sudah membanjiri pasar kita. Bila kita ingat beberapa waktu lalu, produsen batik kita mengeluh karena pasar mulai dibanjiri batik dari China. Padahal kita tahu bahwa batik merupakan produk/pakaian tradisional yang sudah lama ada di negeri ini. Hal ini juga bisa terjadi pada produk atau sarana produksi yang dibutuhkan untuk industri peternakan.

Menurut data dari Ditjennakkeswan, produksi pakan nasional pada 3 tahun terakhir adalah 8,22 juta ton (2008), 8,40 juta ton (2009) dan 9,0 juta ton (2010) atau terjadi peningkatan masing - masing 180 ribu ton (2008/2009) dan 600 ribu ton (2009/2010). Pada tahun yang sama jumlah impor bahan pakan (jagung, bungkil kedelai, corn gluten meal, rapeseed meal, meat and bone meal, DDGS) adalah 3,58 juta ton (2008), 4,15 juta ton (2009) dan 5,70 juta ton (2010) atau terjadi peningkatan 573 ribu ton (2008/2009) dan 1,55 juta ton (2009/2010). Jika semua bahan impor ini digunakan untuk produksi pakan, maka angka ini menunjukkan bahwa kenaikan jumlah impor bahan pakan lebih besar dari kenaikan produksi pakan nasional. Dengan kata lain, kenaikan produksi kita masih sangat tergantung pada impor bahan pakan. Jagung dan bungkil kedelai adalah yang mendominasi impor bahan pakan. Tahun 2009 impor kedua bahan pakan ini 29,3% dari impor total sedangkan tahun 2010 sudah 48,6% dari impor total.

Seperti kita tahu, kedua bahan (jagung dan kedelai) bukan merupakan barang baru di negeri ini dan sudah umum diproduksi oleh petani kita. Masyarakat kita juga gemar makan jagung dan kedelai (tahu dan tempe, red). Mestinya kita memproduksi jagung dan kedelai yang lebih banyak lagi. Namun hal itu tidak terjadi, sehingga kita harus mengimpor tiap tahun dalam jumlah yang terus bertambah.

Tentunya, petani juga punya alasan mengapa tidak memproduksi jagung dan kedelai untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Dalam era saat ini, petani tidak bisa lagi didikte untuk menanam tanaman tertentu. Petani sudah cukup jeli melihat nilai ekonomi suatu komoditi. Bila komoditi tersebut dapat memberi keuntungan yang layak, tersedia sarana dan prasarana, teknologi serta jaminan pemasaran, pastilah petani kita mau memproduksi bahan yang sangat dibutuhkan tersebut. Karena kebutuhan atau potensi pasar kita memang banyak. Mungkin tidak cukup lagi kita mengandalkan petani yang hanya memiliki ½ hektar saja yang terjun untuk itu, tetapi kita membutuhkan petani (pengusaha, red) yang bisa mengelola ratusan bahkan ribuan hektar. Bila hal ini terjadi, bukan hanya kita melepaskan diri dari ketergantungan impor, tetapi juga membuka kesempatan kerja yang semakin banyak di negeri ini.

Apakah peluang tersebut hanya dilihat oleh pengusaha asing seperti pengusaha dari China yang ramai - ramai memamerkan produknya di negeri ini? Tidakkah kita dapat meniru semangat mereka untuk berproduksi sehingga negeri ini bisa menjadi negeri produsen bukan hanya negeri konsumen. Peluang pasar di dalam negeri bahkan juga di mancanegara sangat besar. Atau cukuplah kita bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan primer kita? Padahal ada ungkapan lama yang sering kita dengar bahwa negeri kita adalah ‘gemah ripah loh jinawi’ atau negeri yang subur makmur bahkan dalam nyanyian Koes Plus tersirat suburnya negeri ini sehingga ‘tongkat kayu dan batu (bisa) jadi tanaman’ . Semoga negeriku dalam usia yang sudah 66 tahun merdeka bisa menjadi negeri produsen dan bukan hanya negeri konsumen.

http://www.poultryindonesia.com/modules.php?name=News&file=article&sid=1551

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN KOMENTAR

Pembukaan Padang Penggembalaan(Lelang Ulang)

Informasi Lelang Kode Lelang 2903212 Nama Lelang Pembukaan Padang Penggembalaan (Lelang Ulang) Alasan Pembatalan tidak...