Selasa, 13 Maret 2012

Mencapai swasembada daging sapi 2014



Akankah tercapai swasembada daging sapi 2014? Sejak tahun 2000 telah dilakukan pencanangan swasembada daging sapi, segala daya upaya telah dikerahkan dengan berbagai cara tapi rasanya hanya buang-buang tenaga, dan dana saja. Beberapa yang perlu dipertimbangkkan selain beberapa hal yang sudah dilakukan:
1.Harga sapi
Harga sapi import atau daging import lebih murah dibanding biaya pemeliharaan sapi di dalam negeri terkait jumlah penduduk dengan luasan areal lahan yang tersisa dalam menjaga ketersediaan pakan hijauan sepanjang tahun. Beberapa cara yang bisa dilakukan adalah
a. Mensosialisasikan gerakan penanaman rumput potong (king grass)pada setiap halaman rumah penduduk yang tersisa rata-rata minimal 10 m2 untuk 40 rumpun king grass pada rumah yang memiliki ternak sapi maupun yang tidak memiliki ternak. Jika 1 rumpun king grass memiliki berat 5 kilogram maka setiap rumah menghasilkan 200 kg rumput dengan umur potong 45 hari. Jika satu ekor sapi potong betina dengan berat 400 kg maka tercukupi kebutuhan hidup sapi per hari dengan rumput 40 kg dan tambahan mineral tanpa adanya gangguan fungsi fisiologis yang berarti. Jika satu desa terdapat 1000 rumah maka tersedia rumput sebanyak 200.000 kg per 45 hari (interval panen 45 hari) dengan dirancang jarak waktu tanam per hari maka tersedia rumput sebanyak 4000 kg per hari, cukup untuk memelihara 100 ekor sapi brahman induk per desa. Sehingga hanya ada sekitar 4 - 5 orang peternak disetiap desa yang memiliki sapi sebanyak 22 ekor; 10 ekor sapi betina produktif dan 12 ekor sapi jantan untuk program penggemukan dan setiap bulannya menjual/menghasilkan sapi jantan untuk dipotong dengan berat hidup minimal 400 kg dengan berat karkas 200 kg, berjumlah 4 - 5 ekor. Total hasil daging/karkas yang diproduksi 1 desa tersebut sekitar 800 sampai 1000 kg per bulan. Selanjutnya dapat dihitung kebutuhan daging sapi dalam negeri dan kemampuan produksi daging sapi per desa / kecamatan dst. Dalam penjualan sapi dengan berat hidup 400 kg per ekor, peternak harus mendapat keuntungan bersih minimal 2 juta diluar harga beli bakalan jantan umur 1 tahun dan biaya pemeliharaan/pakan dsb selama 1 tahun. Sebagai data pembanding untuk menentukan harga jual yang kompetitif bahwa harga sapi betina brahman cros bunting dijual oleh perusahaan importir sekitar 12 - 13 juta. Artinya secara umum harga patokan sapi per ekor sekitar Rp 30.000 / kg berat hidup sesuai dengan perhitungan harga karkas sapi adalah 50% x berat hidup sapi x Harga daging sapi per kilo di pasar.
b. Memberikan batasan ekonomis: Ternyata banyak peternak sapi kita memelihara sapi sebagai hewan kesayangan, sebagai tabungan sehingga siklus ekonominya tidak berjalan sebagai sebuah usaha yang bersifat profit oriented (mencari keuntungan). Otoritas peternakan sebaiknya tidak hanya sibuk memberikan larangan menjual ternak yang berakibat stagnannya putaran ekonomi usaha ternak sapi rakyat. Larangan menjual / memotong sapi betina produktif sebaiknya ditambahkan beberapa penjelasan dan batasan yang mudah dimengerti peternak. Sapi jantan yang berumur 3 tahun harus segera dijual untuk dikonsumsi/dipotong karena tidak ada lagi pertumbuhan yang signifikan diatas umur tersebut kecuali untuk dimanfaatkan sebagai pejantan. Tidak ada sapi potong betina yang masih dipelihara melebihi umur 10 tahun, karena kemampuan reproduksi dan produksi sudah menurun, dihimbau untuk dilakukan penggemukan dan kemudian dijual/dipotong untuk konsumsi. Artinya sapi dapat dijual berdasarkan pencapaian produktivitasnya dalam hal ini berat optimum setiap bangsa sapi dengan beberapa kondisi pengecualian, seperti pada sapi yang tidak tercapai berat optimum dan usia sapi jantan sudah mencapai 3 tahun dikarenakan masa awal pertumbuhan tidak tercapai maka dapat dijual disertakan surat keterangan dari dokter hewan. Batasan batasan ekonomis tersebut bertujuan meningkatkan efisiensi efektivitas pakan terutama hijauan khusus untuk sapi sapi yang masih memiliki produktivitas juga bertujuan lebih melancarkan putaran ekonomi peternak. Perpaduan antara terjaganya ketersediaan hijauan yang murah, mudah didapat dan batasan ekonomis pemeliharaan akan menyebabkan harga jual yang kompetitif antara produksi daging di dalam negeri terhadap import.
2. Jumlah sapi
Jumlah minimal ternak sapi yang harus dimiliki per kepala keluarga; Hal tersebut bertujuan agar peternak terspesialisasi sebagai seorang peternak. Beternak bukan lagi sebagai pekerjaan sampingan dengan sistem bertumpang sari / mina padi. Kemampuan seorang kepala keluarga / satu tenaga kerja yang bekerja dari pagi sampai sore,idealnya mampu memelihara sekitar 22 ekor sapi.Pekerjaan dari menanam rumput king grass, memupuk sampai memanen rumput; membersihkan kandang dan sapi; memberi pakan dan minum sampai mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik dan biogas dan melakukan kegiatan penjualan.
3. Sasaran bantuan ternak
Pemberian bantuan ternak kepada orang yang masih dalam kondisi kehidupan yang memperhatinkan. Kenyataannya beternak sapi membutuhkan waktu yang panjang (investasi jangka panjang)yang tidak memberikan masukan penghasilan setiap harinya. Walaupun sudah disiasati dengan penjualan kotoran ternak sebagai pupuk organik. Bagaimana bisa semua peternak dapat menjual pupuk organik kalau yang membutuhkan pupuk tersebut juga memiliki ternak, sehingga pasar pupuk organik sangat kecil dan lemah. Peternak yang dianggap mampu dipersyaratkan harus memiliki halaman rumah minimal 25 m2 yang akan diperuntukkan sebagai perkandangan sekitar 22 ekor sapi.
4. Barometer swasembada daging
Barometer swasembada daging dapat dinilai dari penurunan importasi sapi hidup dan daging sepanjang tahun dan meningkatnya kemampuan produksi daging dalam negeri serta terjaganya populasi sapi dalam negeri. Ketiga point tersebut harus menjadi pedomaan satu kesatuan dalam menentukan tercapai tidaknya swasembada daging sapi. Yang ada sekarang adalah target jumlah populasi sapi, sedangkan kemampuan produksi daging sapi dalam negeri non import belum tampak terukur yang terkait dengan keberadaan jenis / bangsa sapi lokal / non lokal yang tentunya terdapat perbedaan antara jumlah populasi setiap bangsa sapi dengan jumlah kemampuan produksinya.
5. Sistem pemeliharaan
Sistem pemeliharaan ternak yang ada sekarang dengan mengambil istilah tumpang sari atau mina padi artinya keberhasilan seorang peternak tergantung pada keberhasilan sektor pertanian yang menyediakan limbah pertaniannya untuk kecukupan kebutuhan pakan ternakya. Sistem pemeliharaan extensif dewasa ini juga tidak dapat dilakukan secara merata dikarenakan minimnya padang penggembalaan tergusur oleh pemukiman dan perkebunan. Sistem integrasi sapi dan kelapa sawit belum juga menghasilkan data yang akurat mengenai keberhasilannya, bahkan analisa resiko dari sistem tersebut belum mengemuka. Seperti adakah resiko negatif antara produktivitas sapi terhadap produktivitas kebun sawit. Sapi mengalami mencret jika mengkonsumsi pelepah sawit, kualitas daging yang dihasilkan, resiko terhadap alat reproduksi dst sebaliknya apakah kebun sawit menurun produktivitasnya terhadap keberadaan kotoran sapi yang memungkinkan keberadaan lalat / parasit sebagai pembawa hama penyakit bagi sawit dst. Mungkin sebagai jalan tengahnya sistem pemeliharaan tetap menggunakan sistem intensif yang mengandalkan ketersediaan rumput king grass sebagai pakan utamanya, yang dapat dikoombinasikan dengan hijauan lainnya. Integrasi yang paling mungkin dilakukan segera adalah integrasi antara rumput king grass yang ditanam dipinggir area kebun sawit yang masih mendapat intensitas cahaya matahari minimal 35%.
6. Pasar hewan
Keberadaan pasar hewan yang masih langka, minimal 1 Kabupaten pilihan memiliki 1 pasar hewan dengan aturan seluruh sapi yang akan diperjualbelikan harus melalui pasar hewan yang juga memiliki fasilitas rumah potong hewan didalamnya. Kreiteria Kabupaten pilihan berdasarkan populasi minimal ternak di Kabupaten tsb, sehingga dapat diperjualbelikan di pasar hewan minimal 100 ekor sapi per minggu. Tujuan dari keberadaan pasar hewan dan rumah potong hewan adalah mempermudah akses penjualan yang berakhir pada meningkatnya siklus ekonomi rakyat/peternak.
7. Kesehatan Hewan
Otoritas kesehatan hewan diharapkan tidak hanya terjebak pada persoalan - persoalan penyakit saja tapi juga harus mampu menyalurkan potensinya dengan berinduksi pada menejemen pemeliharaaan ternak yang berbasis pada menejemen kesehatan hewan. Harus segera dipahami bahwa menejemen kesehatan ternak merupakan dasar kebijakan dari sebuah peternakan yang harus berperan secara keseluruhan didalam proses beternak. Sudah berjalan puluhan tahun dengan sistem yang salah kaprah, sistem dinyatakan benar jika ada pencapaian hasil sesuai dengan modal / dana dan waktu yang ditelah dipakai. Otoritas kesehatan hewan memiliki kemampuan dalam menganalisa resiko perlakuan didalam menejemen ternak sehinngga dokter hewan harus diberikan peran sebagai barrier kebijakan menejemen ternak, bukan hanya sebagai impact dari sebuah kegagalan menejemen beternak. Terminologi dan paradigma yang selama ini mendasari seluruh kebijakan peternakan harus segera dirubah dengan mendisain ulang tatanan struktural didalam tubuh keorganisasian peternakan.

Drh. Yumoko Ginto 
Fungsional Medik Veteriner BPTU Sembawa


Motto BPTU Sembawa:"Bibit Unggul Peternak Makmur"

Pembukaan Padang Penggembalaan(Lelang Ulang)

Informasi Lelang Kode Lelang 2903212 Nama Lelang Pembukaan Padang Penggembalaan (Lelang Ulang) Alasan Pembatalan tidak...