menjadi energi alternatif untuk mendukung ketahanan energi dan juga menjadi pupuk cair atau pupuk organik.Produksi kotoran sapi tergantung pada jenis sapi, jenis pakan yang diberikan dan kondisi lingkungan. Sapi pedaging akan menghasilkan kotoran yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jenis sapi penghasil susu (sapi perah).Lima puluh (50) ekor sapi potong dapat menghasilkan sekitar 750 kg kotoran sapi per hari yang digelontor dari kandang bersama air mandi sapi dan air sisa pembersihan kandang.Air limbah ini mempunyai kandungan bahan-bahan organik yang apabila dibiarkan terurai di alam terbuka begitu saja akan menimbulkan polusi lingkungan dan emisi karbon.Salah satu alternatif pengolahannyaadalah dengan fermentasi kedap udara (anaerobik) yang akan menghasilkan biogas dan air limbah yang lebih ringan tingkat polusinya.Produk samping dari pengolahan limbah anaerobik ini adalah kompos dan pupuk organik cair yang dapat dipakai untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman pakan dan pangan di lokasi pertanian tersebut.Untuk proses fermentasi kotoran sapi, dilakukan proses anaerobik atau kedap udara.“Kami mengembangkan modifikasi proses pengolahan limbah kotoran sapi menjadi dua fasa, dimana fasa pertama memakai sistem tutup mengambang (floating cover) untukpenampung gas,” tutur Neni.Keuntungannya, proses dua fasa inilebih stabil untuk lonjakan produksi kotoran sapi sehingga mampu mengolah kotoran sampai maksimal 150 ekor sapi.Dengan produksi gas minimal 10 m3 per hari maka biogas dapat dipergunakan untuk memasak 3 jenis masakan untuk satu keluarga (5 jiwa), dan sisanya bisa dipergunakan untuk penerangan 8 lampu 60 Watt selama 7 jam.Selain itu, biogas juga dapat dipergunakan untuk membangkitkan listrik minimal 20 kWh dengan menggunakan genset, sedangkan panas ikutannya dapat dipergunakan untuk pengeringan komoditi pertanian.Menurut Neni, pengolahan kotoransapi menjadi biogas di dalam reaktor yang terkontrol, bisa mengurangi emisi gas metana yangpunya andil besar dalam pemanasan global.”Jika sejumlah kotoran sapi tersebut dibiarkan di udara terbuka, maka dapat diperhitungkan berapa banyak emisi metana dan NOx yang merupakan gas rumah kaca akan membebani udara dan lingkungan di sekitarnya,” tekannya.Hasil penelitian ini sudah diterapkan dalam konsep Bio-Cyclo-Farming di dalam area STP (Science and Technology Park) PUSPIPTEK –Serpong, agar menjadipercontohan yang mudah diadopsi oleh konsumen dan bisa mempercepat transfer teknologi ke masyarakat.“Rencananya, Bio-Cyclo-Farming ini akan berkembang menjadi suatu sistem peternakan yang terintegrasi dengan pertanian untuk menghasilkan pakan dan pangan, serta pemanfaatan limbah untuk kebutuhan energi dan mengembalikan kesuburan tanah dari hasil pupuk organik di dalam rangkaian sistem yang terpadu,” tambah Neni.
Published with Blogger-droid v2.0.6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN KOMENTAR